Monday, August 7, 2017

Cerita Dewasa Malam Minggu

Aku mulai cerita ini dari jatuh cinta pada teman kampusku. Anak rantau yang di biayai orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta. Namanya Alina. Namanya tak lebih cantik dari rupa aslinya. Tinggi tapi tidak melebihi tinggiku. Tubuhnya sexy. Tidak kurus tapi berlebihan jika dibilang gemuk. Cantik, makanya sepadan denganku yang tampan. Maaf. Satu hal lagi, mungkin jika melihat Alina pasti pikiran lelaki sudah berpikir yang tidak-tidak.


***

Lalu di lanjut dengan Alina yang mulai menyukai puisi-puisi basiku. Kemudian memintaku untuk menuliskan puisi tentangnya. 

“Sejak kapan kamu mulai iseng nulis puisi?”
“Gak tahu. Mengalir aja sih.”
“Biasanya sih kalo lelaki mulai puitis gini, tandanya habis patah hati.”
“Hahaha. Sok tahu.”

Dia memukul pundakku. Semakin jatuhlah aku dalam cinta yang kubuat-buat sendiri. 
Kemudian ada yang memberontak dalam celanaku. Betapa laptopku menjadi saksi berengseknya otak dan kelamin ini menginginkan Alina.

Hari-hari selanjutnya, kami banyak menghabiskan waktu bersama. Makan di kantin, kejar deadline tugas, dan yang lebih nekat mengantarnya pulang. Kali ini aku sedang naik motor, untungnya ada helm cadangan di bagasi motorku yang luas. Untuk pertama kalinya aku ingin berlama-lama di jalan. Tubuh Alina mendekat rapat namun tidak memeluk. Sesuatu empuk dan nyaman yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.

***

Di pusat ibukota, dia mengajakku untuk mampir ke apartementnya. Lift berbunyi ketika kami sampai di lantai 16. Dari ujung lorong, aku melihat lelaki tidak begitu tampan namun rapih menunggu di depan pintu unit kamar yang menurutku itu milik Alina.

“Eh ini kenalin pacar aku.” 

Lelaki itu menjabat tanganku. Tatapan matanya menaruh curiga kepadaku.

“Sayang, ini teman kampus aku yang selalu bantuin tugas aku.”

Aku membalas jabat tangannya dengan senyum ramah munafik. Rasanya tidak enak berada disana lebih lama lagi. Jadi, setelah mengantar sampai depan pintu, aku izin pamit. Namun otakku masih memikirkan kalau Alina dan pacarnya pasti berbuat yang tidak-tidak.

***

Beberapa hari setelahnya, Alina mulai menjaga jarak denganku. Aku tidak tanya kenapa, aku menghargai privasi dan perasaan pacarnya. Itu pasti. Tapi, perasaan ini mulai tumbuh pelan-pelan. Jadi, kuputuskan untuk membuangnya jauh-jauh.

Dua minggu berlalu. Aku duduk di taman kampus, membuka laptop lalu mulai membuka surel, melihat-melihat semua surel yang berisi tugas dari dosen. Tanpa sadar, Alina sudah duduk di sampingku. Mukanya muram, kutebak hatinya penuh gelisah. Tak kulihat senyum di bibirnya.

Aku mendengarkan curahan hatinya. Hanya mendengarkan, sesekali menggenggam tangannya. Sedetik kemudian kepalanya bersandar di bahuku. 

Sore itu aku mengantarnya pulang, kali ini aku naik mobil. Dia masih saja menikmati patah hatinya. Katanya sudah seminggu putus. Aku hanya mendengarkan, agar dia jadi tenang dan mungkin bisa sejenak melupakan. Kemudian hujan turun, dan aku lupa bahwa ini malam minggu. Pantas jalanan macet. Jadi kuajak dia untuk makan di restoran cepat saji. Sedihnya mulai pudar, senyumnya mulai mengembang perlahan.

***

Kira-kira hampir larut. Dan lantai 16 cukup tinggi untuk menikmati pemandangan kota setelah hujan. Dingin masih mengitari tubuhku. Sekarang yang kuinginkan hanya dilumat peluknya Alina.

“Kamu mau minum apa?”
“Nggak usah repot-repot, Al. Sebentar lagi aku pulang kok.”
“Kamu buru-buru pulang sih? Bisa tinggal disini satu jam lagi?”
“Okay.”
“Lagipula, di luar masih hujan deras.”

Lalu dia duduk di sampingku, sambil menonton film…entahlah. Alina menyandarkan kepalanya di bahuku. Tanpa rasa bersalah, aku merangkulnya. Kupikir tadinya ia menolak dirangkul. Sesaat ia memutar tubuhnya, wajahnya berhadapan dengan wajahku. Aku mencium aroma susu dari bibirnya. Tak berapa lama, dia melumat bibirku penuh nafsu. Beberapa detik kemudian, kami sudah bertelanjang dada. 

Aku segera mengunci pintu untuk memastikan benar-benar tak ada yang mengganggu. Dari sofa ruang tamu, aku menggendongnya lalu menjatuhkannya dengan kasar di atas kasur. Beberapa menit kemudian, kami sudah benar-benar telanjang dengan tubuh penuh keringat. Tangannya melingkar di pinggangku.

Hujan mengguyur lagi. Kali ini lebih deras disertai kilatan petir.

Sambil menciumi lehernya, aku berbisik di telinganya. 

“Aku rasa aku akan tinggal sampai pagi.” 

Kemudian dia mendorongku, dan mulai menguasai permainan.

No comments:

Post a Comment

Membunuh Hati Yang Sudah Mati

Jatuh cinta kepada seseorang bisa membuatmu berubah. Itu bagus jika ia membuatmu jadi orang yang lebih baik. Bagaimana jika sebalikny...