Tuesday, August 29, 2017

Es Kopi Siang Ini

Harusnya semalam aku tidur lebih awal. Biar ketika dapat panggilan interview nggak telat melulu karena kesiangan. Yes, its me. Perang di pagi hari itu bukan melawan macet ibukota, tapi melawan air mandi yang dingin. Ahh, darahku mulai berhenti mengalir dan otakku mulai membeku sampai nggak mampu buat pakai baju. 


Berita pagi ini masih tentang penipuan berkedok agama, namun sampai sekarang belum ada gerakan umat yang berjilid-jilid untuk menuntut keadilan seperti gerakan yang dulu untuk memenjarakan si penista agama. Hmm, mungkin kasus ini tidak bermuatan politis. Entahlah, siapa aku terlalu memerhatikan keadaan bangsa.


Sekarang, orang berpakaian rapi dengan dasi berwarna ungu dan kemeja warna hitam memintaku untuk masuk ke dalam ruangannya yang memiliki pemandangan langsung ibukota. Hmm, kapan ya kira-kira punya ruangan sendiri dengan pemandangan bagus seperti itu? Mungkin nanti kalau aku melanjutkan pendidikan magister hukum dan membangun perusahaan sendiri. Nggak apa-apa, toh sebentar lagi aku pulang dan lanjut bermimpi.


Aku baru sadar kalau kantor ini dekat dengan tempat ia bekerja. Sebuah coffeeshop yang di dalamnya banyak pelanggan berdasi namun kalau bayar pakai kartu kredit dan rela mengantri ketika ada promo diskon maupun buy 1 get 1. Aku buka pesan terakhir darinya, ada kata rindu disana. Niatku menemuinya agar ia berhenti mengirimkan kata-kata rindu. Tapi kupikir itu berlebihan. Bagaimana jika aku yang rindu seseorang kemudian di paksa berhenti merindu? Meski pada kenyataannya, ia rindu kepadaku tapi tidak sepenuhnya. Ada laki-laki lain sekarang.


Interview berakhir. Tim HRD menilaiku cukup berpotensi, dan memintaku untuk datang lagi besok. Kenapa tidak membuat keputusannya langsung saja? Orang-orang sekarang nampaknya suka membuat orang lain menunggu-nunggu.


Kakiku tanpa sadar membawaku kesana. Security membukakan pintu dengan pura-pura tersenyum. Ya aku tau dia senyumnya terlihat memaksa. Teriakan greetings dari beberapa barista yang sibuk dengan kopi masing-masing. Salah satunya sedang sibuk menunggu pelanggan yang bingung dengan ingin memesan apa. Tidak kulihat ia disana, sibuk dengan mesin kopi seperti biasanya. Seorang lelaki dengan seragam khusus —kelihatannya ia manajer, tampangnya tegas dan badannya tinggi— memantau situasi siang ini. Sesekali memberikan aba-aba kepada barista agar tidak lupa tersenyum.


Ada satu pelanggan, ia orang asing, duduk sendirian, mengamati para barista meracik kopi, sesekali tersenyum ramah. Aku masih duduk, belum memesan kopi karena aku hanya ingin dia yang membuatnya. 


Dan dia keluar dari crew room, belum melihatku karena mungkin aku tidak ia kenali dengan rambut gondrongku. Aku berdiri di antrian. Cukup panjang karena hari ini sedang ada promo. Kulihat ada satu pelanggan yang komplain karena kopinya terlalu lama di buat. Kurasa ia hanya haus atau mungkin mengantuk dan ingin segera meneguk kopi.


"Caramel Machiatto, tall size." Giliranku memesan. 
"Atas nama siapa, kak?" Dia sungguh belum menyadari.
"Ehmm..." 


Ia menatapku. Senyumnya mengembang. Kulewati momen itu karena tidak ingin membuat antrian lebih panjang. Aku berpindah tempat duduk. Tempat favoritku, di meja samping barista meracik kopi. Tempat favoritku karena bisa melihat ia sibuk dengan mesin kopi yang entah aku tidak tahu apa istilahnya. Sementara itu, entah mengapa rasa es kopiku terasa lebih nikmat dari biasanya.


No comments:

Post a Comment

Membunuh Hati Yang Sudah Mati

Jatuh cinta kepada seseorang bisa membuatmu berubah. Itu bagus jika ia membuatmu jadi orang yang lebih baik. Bagaimana jika sebalikny...