Friday, October 20, 2017

Botol-Botol Bir Yang Berserakan

Foto itu benar-benar membuat Mika berantakan. Rasa bersalah dan penyesalan mulai muncul kembali ke permukaan. Kini menjadi lebih menyakitkan dari sebelumnya. Ia sudah meninggalkan segala perasaan kacaunya itu di antara riuhnya ibukota. Di sebuah rumah dengan pemandangan hamparan bukit perkebunan teh, ia menyendiri dan menjauh dari keramaian. Empat bulan berlalu dengan tiap menitnya memikirkan hal-hal yang menghancurkan dirinya. Menghabiskan hari-hari dengan mabuk. Itulah yang membuat pikirannya tenang.

Di teras dengan lantai kayu, satu meja dan empat kursi yang terbuat dari kayu jati mengisi ruang kumpul keluarga dengan pemandangan yang menyejukkan itu. Di sana pula botol-botol bir berserakan. Mika menyusuri kebun teh itu sambil membawa foto dan sebotol bir. Angin bertiup sangat dingin. Sisa-sisa hujan masih terasa. Embun pagi menerka wajahnya. Mika memandang ke seluruh penjuru. Ia tak melihat petani-petani yang memetik daun teh. Akhir-akhir ini sedang turun hujan lebat.

Ia berjalan tergopoh-gopoh. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Hari ini dia tidak tidur lagi. Melihat foto itu membuat dadanya semakin sesak. Emosinya memuncak. Ada rasa sakit yang bahkan ia sendiri tak bisa mengungkapkannya. Ia berdiri di atas batu besar di antara kebun teh. Hembusan angin mengacak-acak rambutnya. Berharap angin yang berhembus membawanya melayang-layang. Bir di tangannya masih tersisa setengah botol. Ditenggaknya sampai hanya menyisakan busa-busa kekuningan.

          Praaaaannnggg!!! 

Mika memecahkan botol birnya. Ia tak tahan lagi dengan suara-suara yang mengacaukan telinganya. Bayang-bayang rasa bersalah menghantui kepalanya. Hujan turun lagi. Mika mengambil pecahan botol itu. Ia tak mengenali sosok yang ada dalam pecahan itu.

***

"Aku tak pandai mengucap kata-kata cinta. Tolong ajari aku, Theo!" 
"Mik, aku saja tak pernah tahu harus bagaimana memulai percakapan dengan wanita. Apalagi membual soal cinta. Jangan aneh-aneh lah. Hahaha!"
Mereka tertawa berdua. Percakapannya mulai melayang-layang. Keduanya sudah terlalu banyak minum. Tapi mereka lelaki yang sangat kuat. Hanya tak ada yang pandai soal cinta dan wanita.

"Kalian itu memang pecundang. Aku yang menyetir pulang. Payah!" Umpat Dita. Ia satu-satunya wanita dalam persahabatan mereka, terjalin sudah lama hingga saling menganggap semuanya keluarga. Sayangnya Dita tak sadar bahwa Mika dan Theo bersaing merebutkan hatinya. Persaingan itu tak terlihat karena mereka tidak ingin persahabatan ini hancur karena cinta. Dita terus diam sepanjang jalan. Ia membiarkan mobilnya hening tanpa suara. Mika dan Theo sudah teler. Ia menatap Theo yang duduk di sebelahnya. Betapa Dita bingung karena mencintai kedua sahabatnya. 

Ia berjanji, jika ada wanita yang berani menyakiti kedua sahabatnya. Ia tak segan-segan meluncurkan pukulan yang selama ini diajari saat latihan bela diri.

***

Suara televisi terdengar samar-samar. Mika dan Dita tidak sedang menonton. Mika membiarkannya menyala. Suara klakson kendaraan saling bersautan. Lampu-lampu jalan terlihat sedikit redup. Mungkin tertutup embun bekas hujan. Mereka berdiri di balkon apartemen, melihat riuhnya lalu lintas malam hari. 

"Mik, aku mau cerita deh sama kamu. Soal laki-laki." Tiba-tiba Dita memecahkan keheningan. Dita tak pernah bercerita soal laki-laki sebelumnya. Ini mengejutkan bagi Mika. 

"Silakan. Aku mendengarkan." 
"Sebenarnya, apa sih yang laki-laki pikirkan tentang wanita?"
"Aduh, aku justru bingung mau jawab bagaimana. Langsung intinya saja, sih." 
"Kamu pernah  jatuh cinta atau sayang sama seseorang?"
"Pernah. Dari dulu sekali malah." Mika berpikir bahwa saat seperti ini tepat untuk menyatakan perasaannya. 
"Aku juga sama. Ingin sekali rasanya aku ungkapkan, tapi aku takut." Mika menatap matanya. Ia melihat mata Dita berkaca-kaca. Perlahan menjadi tangisan kecil. Mika mendekapnya dan membiarkan bajunya basah oleh air mata Dita. 

"Aku sayang sama kalian berdua, tapi aku nggak mau persahabatan kita hancur." Tangisnya mulai tumpah. Betapa rumitnya perasaan Dita hingga tubuhnya menggigil. Ada sesak dada yang bisa Mika rasakan. Mika hanya memeluknya, berharap itu menenangkan Dita. Ia membasuh air mata Dita. Diciumnya bibir mungil itu perlahan. Mika mendorongnya masuk karena di balkon anginnya mulai kencang. Suara televisi masih memenuhi ruangan itu. Peluknya semakin erat.

***

Theo mencari-cari keberadaan Mika. Tak ada satupun yang tahu. Sebetulnya keluarganya tahu tapi menyembunyikannya. Tekadnya sudah bulat. Atas dasar cinta dan persahabatan, ia menikahkan Dita sebelum ada orang yang tahu. Theo paham betul senyum Dita tak seperti biasanya. Ia tak mau semakin memikirkannya. Sepenuh hati ia rela bertanggung jawab pada apa yang tak pernah ia perbuat. 

Sungguh Theo sangat marah. Ia ingin memukul habis-habisan wajah Mika. Hingga kemarahannya berwujud jadi benci. Benci yang teramat! Namun, Dita lah yang membuatnya luluh. Wanita itu masih yang paling kuat di antara mereka bertiga. Maka tak ada alasan bagi Theo, ia hanya ingin membuat Dita bahagia. Sebahagia wanita yang tinggal menunggu hitungan hari menuju hari paling membahagiakan bagi sepasang manusia yang saling mencinta. Theo tak sanggup melihat Dita membesarkan anaknya sendirian tanpa seorang lelaki di sampingnya. Theo ingin menjadi lelaki yang akan selalu berada di sampingnya.

Segala persiapan sudah selesai, semua undangan sudah disebar. Dita menitipkan undangan untuk Mika pada keluarganya. Berharap sahabat tercintanya itu menghadiri pernikahannya. Namun, dengan tidak ada yang tahu keberadaannya ia tak mau terlalu berharap.

Di kamar dengan cat warna abu-abu, Dita berdiri di depan cermin besar. Ia mengelus-elus perut. Sungguh ia tak tega pada Theo yang harus menggantikan Mika padahal di dalam perut Dita adalah anak dari Mika. Emosi Dita tak lagi berwujud marah yang meledak-ledak. Ia menangis, tapi tak ada lagi air mata. Entah rasanya seperti apa Dita pun tak bisa menjelaskannya. Setiap kali ia mengingat Theo dan Mika, hanya menghasilkan air mata. Terutama untuk Theo. Laki-laki itu sangat baik. Entah harus bagaimana lagi mengungkapkan kebaikan Theo, ia sangat mencintainya sekarang.

***

"Mengapa aku di sini? Bukannya ini hari pernikahan sahabat-sahabatku?" Kepala Mika masih terasa sakit, hatinya masih terasa sesak. Bagaimanapun ia harus hadir di hari bahagia sahabatnya. Ia membuang botol bir itu sembarang. Kemudian berjalan masuk dan berganti baju rapi. Ia meninggalkan rumah yang tentram itu untuk sementara waktu. Dengan kecepatan yang tidak begitu tinggi, ia melaju di antara hujan-hujan yang mulai membasahi bumi.

Tak peduli ia tidak menyaksikan ijab kabulnya, hadir dalam pernikahan mereka saja sudah membuat mereka senang. Setidaknya Mika turut bahagia. 

Sampai di tempat pernikahan Dita dan Theo, ia melihat dari kejauhan tamu-tamu yang hadir begitu banyak. Tema pernikahan outdoor memang menjadi cita-cita Dita. Ia melihat Dita mengenakan gaun putih dengan mahkota bunga di kepalanya. Theo dengan jas putih sederhana namun terlihat sangat tampan. Ia dengan segera menghampiri sahabat-sahabatnya. 

Mika memeluk kedua sahabatnya itu sambil menangis. Ia meminta maaf pada keduanya karena menghilang selama sebulan terakhir ini. 

"Selamat kepada kalian berdua! Aku minta maaf menghilang tiba-tiba. Ini hanya masa yang rumit bagiku." Ia memeluk Dita dan Theo sekali lagi. 
"Tak apa, Mika. Kau tak perlu merasa menyesal dan bersalah lagi." Ucapan Theo menyadarkannya. Ia terdiam.
"Mik, kamu seharusnya berterima kasih kepada Theo. Dia bertanggung jawab padahal ini perbuatanmu." Dita dengan nada santai dan muka yang tersenyum memukul Mika dengan perkataannya. 

Mika terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Pandangannya mulai kabur.

"Mika, kenapa ada di sini?" Suara Ayahnya terdengar bersamaan tangan yang menepuk pundak Mika. Kemudian keluarga mereka berkumpul di tengah pelaminan, terheran-heran mengapa Mika hadir. 

"Memangnya aku dilarang hadir di pernikahan sahabatku?" Mika mulai kebingungan, kepalanya terasa sakit sekali.

"Bukankah kamu sudah mati, Mika?" Suara Dita terdengar halus. Mika semakin tak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kau kan sudah mati, kamu lupa?" Theo menusuknya dengan kata-kata. 

Mika semakin tak mengerti. Suasana menjadi aneh. Kepalanya tak terasa sakit lagi. Hatinya tak merasakan apa-apa. Kemudian ia melihat Dita dan Theo menangis. Para tamu terlihat sedih. Orang tua Mika menangis dan ia masih tak tahu mengapa semua orang terlihat sedih di hari bahagia kedua sahabatnya itu

"Ia menggores urat nadi di tangannya dengan pecahan botol beling. Saya turut berduka." Kata seseorang berseragam kepada Ayah Mika.

No comments:

Post a Comment

Membunuh Hati Yang Sudah Mati

Jatuh cinta kepada seseorang bisa membuatmu berubah. Itu bagus jika ia membuatmu jadi orang yang lebih baik. Bagaimana jika sebalikny...