Tuesday, October 23, 2018

Membunuh Hati Yang Sudah Mati



Jatuh cinta kepada seseorang bisa membuatmu berubah. Itu bagus jika ia membuatmu jadi orang yang lebih baik. Bagaimana jika sebaliknya?

Jatuh cinta dengannya membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik. Mengobrol dengannya selalu menyenangkan. Rasa-rasanya saya tak pernah kehabisan topik bicara. Berbicara tentang apa saja. Tentang mengapa jalanan Jakarta selalu macet. Tentang mengapa Jakarta lebih indah dilihat dari ketinggian pada malam hari. Tentang mengapa orang tua selalu telat mengambil keputusan. Tentang mengapa orang selalu melakukan hal yang disadari itu sukit dilakukan namun tetap dilakukan. 

Berbicara dengannya menambah pengetahuan baru untuk saya. Saat itu saya sadar, saya jatuh cinta pada cara dia memandang sesuatu. Saya jatuh cinta pada isi kepalanya. Saya tidak jatuh cinta dengan dirinya karena saya tidak tahu, siapa orang sebenarnya yang selama ini menjadi pusat dunia saya.

Ketika seseorang menceritakan kisah paling rahasia di hidupnya, ia mungkin percaya denganmu. Mungkin. Namun, bagaimana ia bisa percaya dengan saya padahal kami saja belum pernah bertemu langsung? Ya mungkin saja karena kebetulan nasib latar belakang keluarga kami sama. Atau mungkin juga disama-samakan.

Ada momen terkonyol saat saya dan dia membahas soal pernikahan. Apa yang saya impikan hidup setelah menikah sama seperti impiannya. Tentu sangat konyol mengingat kami bertatap muka saja belum pernah tapi sudah membahas perintilan pernikahan. Saya juga sadar betapa konyolnya saya. Disaat yang bersamaan, saya senang berada di titik itu. Bermain-main di alur yang saya sudah tahu ini mungkin melukai saya.

Coba kamu bayangkan. Kamu bertemu seseorang yang memandang segala sesuatu sama denganmu. Anggaplah kalian satu frekuensi. Sebelum bertemu dia, kamu belum pernah bertemu dengan orang yang satu sudut pandang denganmu. Menyenangkan ‘kan bertemu dengan seseorang seperti itu, anggaplah hati dan pikiran kalian sejalan. Dia membuatmu berimajinasi bagaimana rasanya hidup bersamanya.

Lalu tiba pada waktunya kamu sadar bahwa hubungan seperti itu tak akan ke mana-mana. Ketika kamu berharap semuanya akan menjadi lebih baik setelah bertemu langsung. Nyatanya, ia hanya bayangan. Semu. Menghilang meninggalkan imajinasi-imajinasi indah yang kausendiri tak sabar untuk mewujudkannya.

Kamu merasakan ada banyak hal yang menyumbat dadamu hingga terasa sesak. Jangan menyalahkan dirimu karena menaruh harapan padanya. Saya pun tak setuju pada anggapan bahwa manusia terluka karena harapannya sendiri. Tidak bolehkah berharap? Apa itu membenarkan perbuatan manusia yang datang membawa harapan lalu pergi meninggalkan kekecewaan? Sulit rasanya menahan hati agar tak berharap kepada seseorang yang satu jalan pikiran denganmu. Tentu.

Dalam dunia yang ia buat, ia mengisinya dengan imajinasi-imajinasi semu yang takkan kausadari. Membuatmu nyaman berada di sana. Sampai di titik di mana kamu sadar, ini too good too be true. Kamu sadar akan hal itu.

Yang membuat saya bertanya-tanya, apa motifnya? Kalau ia memang betul-betul punya ketertarikan yang sama, buat apa menahan diri untuk bertemu? Itu pun kalau ia memang nyata. Kalau memang nyata dan belum siap untuk bertemu, buat apa membangun imajinasi seolah-olah itu semua akan terwujud nantinya? Menurut saya, itu terlalu jauh. Mulai saja dari hal yang paling sederhana; bertemu.

Pernah saya berpikir bahwa ia memang nyata. Di kehidupannya, mungkin ia punya pasangan namun hubungannya membosankan. Ia mencari pelarian, kebetulan bertemu saya. Mungkin saja toh?

Namun ada satu hal yang harus ia tahu, saya sadar bahwa saya tidak merasa kehilangan apapun. Ia mungkin tak menyadari itu. Sangat jelas jika ia nyata, maka saya pasti merasa kehilangan. Ia juga harus tahu, ia takkan pernah bisa membunuh hati yang sudah mati. 

Teruslah menghilang. Agar saya semakin sadar saya memang tidak kehilangan apapun. Mungkin ia menganggapku terbawa arus permainan yang ia buat. Sedangkan ia belum menyadari bahwa saya memang memposisikan diri saya sebagai hati yang terseret arus. 

Terserah ia mau mengutuk segala hal dan ditujukan untuk saya. Satu hal mesti ia tahu, ia takkan pernah bisa membunuh hati yang sudah mati.

Saturday, March 3, 2018

"Info Dong, Bro!"

Gue bingung kalimat pembukanya apa ya secara udah lama banget ngga nulis. Tapi semoga kalian yang baca ini dalam keadaan sehat semua. Amin. 

Btw langsung aja yaa. 

Kalian sebel nggak sih, kalau ada temen kalian yang entah kapan terakhir kali nyapa atau ngobrol sama kalian, sekalinya nyapa cuma nanya info lowongan kerja atau bahkan minta kalian untuk masukin dia kerja di tempat kalian kerja? Gue sering banget! Dan secara personal, gue sebel.

Gini-gini, sebelum elu ngejudge gue "Ah gitu aja bete", "Ah nggak asik lu, bukannya bantuin temen", "Temen minta tolong bukannya bantuin malah dibikinin tulisan kaya gini" atau perkataan apapun itu. Stop!

Kenapa gue berani nulis kaya gini? Karena masih ada orang-orang yang berpikir dan merasa bahwa hal kaya gitu wajar. 

Secara personal, gue sebel emang. Coba kalau elu-elu yang udah lama banget nggak nyapa temen elu dan tiba-tiba nyapa "Eh info lowongan dong", "Pik, di kantor elu ngga ada lowongan apa?", "Masukin gue di kantor elu dong", dan kata-kata lainnya yang intinya sama. 

Please! Please! Please! Apakah selama kuliah kalian ngga diajarin nyapa orang yang udah lama ngga kalian sapa? Eh emang ngga ada mata kuliahnya sih.

Justru gue sangat menghargai dan membantu mereka yang nyapa dari awal, nanya kabar, nanya sekarang sibuk apa atau obrolan-obrolan sederhana lainnya. Ya meskipun gue udah tau maksud dan tujuannya, tapi ini SANGAT JAUH LEBIH BAIK. Ada obrolan pembuka yang baik sebelum point-point penting yang emang jadi tujuan utama. Maka membangun relasi komunikasi yang baik antar teman sangat penting ketika elu-elu butuh pekerjaan. Jangan udah nggak pernah nyapa sama sekali, tiba-tiba ngechat "Eh info lowongan dong". Coba bayangin perasaan si lina jobstreeet.

Karena tanpa elu minta, teman pun kalau punya info lowongan pekerjaan pasti akan ngasih itu ke elu duluan sebelum ke orang lain. Kenapa? Karena hubungan elu dengan teman elu baik, komunikasi lancar, kaya gitu tuh udah alurnya (mulai sotoy).

Sekarang curhat yang lebih pribadi nih. Jadi, gue udah lama banget nih jadi pengacara (baca: pengangguran banyak acara). Udah nganggur, kuliah terlantar, tapi gue bersyukur gue masih punya tenaga untuk menulis surat lamaran kerja, browsing info lowongan kerja sampai keliling taruh langsung surat lamarannya. Dipanggil interview? Alhamdulillah banyak dipanggil. Diterima? Rezeki gue bukan di situ :) Kenapa gue nggak minta info lowongan kerja sama temen-temen gue yang udah pada kerja? Sederhana. Gue masih punya tenaga dan gue belum mau minta-minta atau bahkan maksa temen gue buat masukin gue di kantornya. "Lah itu kan namanya koneksi, Pik." Ya, betul. Tapi gue hanya belum mau. Karena gue kalau seperti itu gue akan berutang budi sepanjang karir gue. Belum rasa-rasa nggak enak kalau ternyata kerja gue emang nggak memuaskan. Secara penilaian orang standarnya beda-beda. Kalau kaya gitu, gue nggak takut ditegur atasan tapi gue takut temen gue yang ditegur atasan atas kinerja gue yang kurang memuaskan. "Emang elu aje yang kerjanya nggak bener, Pik." Bagaimana kalau kerja gue udah bener dan baik sesuai prosedur namun ternyata emang kurang memuaskan? Yang tadi gue bilang, standar penilaian kerja tiap orang berbeda.

Sekarang giliran perilaku temen yang udah lama nggak nyapa kemudian nyapa cuma minta lowongan kerja. Begitu udah masuk kerja, dia lupa siapa yang ngasih info kerjaan. :)))

Gue sering banget ngalamin. Bahkan ketika gue lagi nganggur senganggur-nganggurnya orang nganggur yang butuh banget kerjaan.

Beberapa temen lama gue ngechat dan langsung to the point. Momennya kebetulan gue lagi punya banyak info. Nyebelin sih emang ketika temen elu (deket banget juga nggak) udah lamaaaaaaaaa banget nggak nyapa (bahkan di sosmed) tiba-tiba minta info lowker. Karena niat gue bantu mereka, barangkali mereka lagi butuh banget duit daripada gue pinjemin duit ntar bisa kagak balik ya mending gue kasih info tersebut.

Singkat cerita, kami udah ngga saling nyapa lagi nih. Gue tau kabar dia dari sosmed bahwa dia udah kerja di perusahaan yang gue kasih tau. Senangnya bukan main woy! Namun, rasa senang itu berubah jadi sebal. Bukan iri atau dengki. Nggak ada ucapan terima kasih. Sama sekali. Ini gue masih bisa terima karena gue hanya ngasih info lowkernya aja. Berarti emang dia usahanya bagus. Lalu terbesit dalam benak jahat gue "Hmm coba elu nggak nanya itu dan gue ngga ngasih itu ke dia, belum tentu dia kaya sekarang.."

Wajar nggak gue punya pikiran kaya gitu?

Ada yang lebih parah sampai gue sakit hati banget. Temen gue ini terakhir nyapa itu waktu kapan ya lupa gue juga. Udah gitu cuma sekedar kenal doang pula. Gue kasihlah dia sebuah lowongan kerja dengan posisi yang cukup enak di perusahaan yang punya nama juga. Udah gue kasih infonya, tinggal kirim email atau taruh langsung, pake drama segala minta bantuan 'orang dalem'. Kebetulan gue HRD-nya mitra kerja perusahaan gue juga, dan sama gue pun cukup dekat. 

Maka gue minta tolong lah sama HRD-nya blablabla. Karena di perusahaan itu enang lagi perlu banget, usut punya usut temen gue nggak pake test masuk. Interview, besok langsung kerja. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Seminggu berlalu, HRD-nya telepon gue. Dia ngomong 
"Mas Fikri, teman kamu yang kemarin kamu bilang itu namanya ini kan?" 
"Iya, Pak. Hehehe makasih banyak lho, saya jadi nggak enak."
"Serius, Mas Fikri?"
"Serius, Pak. Emangnya kenapa, Pak? Dia kerjanya nggak bagus ya?"
"Saya tanya ke dia kamu temannya Fikri tapi dia jawab nggak kenal..."

Kecewa banget cuy! Gue kira cuma ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya udah paling sakit, ternyata digituin lebih sakit. Apa yang gue lakuin? Gue cuma berdoa semoga hal-hal positif yang gue share ke orang lain jadi tabungan gue ketika gue lagi susah. Setelah kejadian itu, gue memutuskan untuk menghapus satu nama orang dari hidup gue. Berlebihan? Rasain dulu digituin. Baru DM gue di Instagram gimana rasanya.

Dari pengalaman-pengalaman itu lah kenapa gue sebel banget sama orang-orang yang tiba-tiba nyapa hanya nyari keuntungan sendiri. "Lu pelit banget sih sama info gitu-gituan." Bos, kalau elu dari awal ngobrolnya baik, nggak langsung ke poin, atau mungkin kayak pedekate dulu bar ngomong tujuannya, wah nggak mungkin nggak ada orang yang nggak bantuin.

Tapi masih ada beberapa temen yang emang nanya-nanya kesibukan dulu baru besok-besoknya to the point. Gue pun selalu ngasih info kalau memang ada. "Kenapa nggak elu aja yang ngelamar sendiri?" Karena gue sadar diri bahwa kualifikasi nggak sesuai sama isi CV gue. Meksipun gue nganggur, gue sangat senang sekali membantu teman-teman gue yang emang butuh pekerjaan, cuma banyak diantaranya nggak mengerti etika. Sangat disayangkan sekali tetiba datang langsung berbicara tujuan tanpa ada awal percakapan yang baik. 

Terakhir, untuk semua yang merasa pernah dibantu oleh gue (ekekek itung-itungan) kalian harus tau gue menulis ini agar kelak ketika kalian perlu bantuan kalian tau bagaimana membangun komunikasi yang baik sebelum kalian mengutarakan tujuan kalian. Gue sangat senang kalian-kalian bisa kerja enak dikantoran dengan gaji yang cukup besar buat seumuran kalian. Mungkin ada beberapa yang mendoakan gue, terima kasih banyak.

Gue? Sekarang? Alhamdulillah gue kerja di rumah. Menjalani hobi yang sangat gue cinta dan digaji lebih besar dari harapan gue. Gue nggak merasa capek, jenuh, atau bahkan ingin resign. Gue sangat amat mencintai pekerjaan baru gue yang sekaligus hobi ini. Meskipun hanya kontrak sampai 6 bulan ke depan, tapi apa yang gue dapat ini sangat jauh dari apa yang gue pernah dapat sebelumnya. Atau mungkin lebih jauh juga dari kalian, orang-orang yang gak ada juntrungannya tiba-tiba minta kerjaan sama pengangguran. Sombong? Pamer? Kalau tujuannya positif mah ya santai aja kali~ 

Terima kasih kepada pihak siapapun yang mendukung dan mendoakan. Gue selalu yakin bahwa apa yang gue tanam adalah apa yang gue petik. Apa yang ada di otak gue malam ini sangat random. Tiba-tiba ingin ngomel-ngomel di blog soal perilaku kurang bagus. Tapi niat gue menulis ini bukanlah menyinggung atau menghina satu pihak, namun mengingatkan kembali bahwa penting sekali membangun komunikasi yang baik antar sesama teman agar jika dikemudian hari kamu butuh bantuan orang-orang sekitarmu akan datang dengan sendirinya secara sukarela tanpa kamu mohon-mohon bantuan.

Akhir kata, apa ya? Ya pokoknya elu tau diri lah. Nyapa nggak pernah, ngechat nggak pernah, nanya kabar apalagi. Ehhh tiba-tiba minta info lowongan kerja bahkan sampai maksa masukin kerja, bukannya nggak mau nolongin atau mau ngasih. Tapi cara elu bener nggak? Sopan nggak? Baik nggak? Kalau ada yang baca ini terus merasa tersinggung atau bahkan nggak sepemikiran, gue orangnya sangat santai dan membuka pikiran. Bahwa isi kepala orang beda-beda dan nggak bisa dipaksakan biar sama.

Yaudahlah ya udah jam setengah 2 pagi. Maaf sekali gue udah lama nggak nulis di blog, sekalinya nulis marah-marahin orang hehehe. Semoga gue jadi rajin nulis lagi. Amin.

Wassalam.





Ps: ini berlaku juga buat yang mau minjem duit alias ngutang

Friday, October 20, 2017

Botol-Botol Bir Yang Berserakan

Foto itu benar-benar membuat Mika berantakan. Rasa bersalah dan penyesalan mulai muncul kembali ke permukaan. Kini menjadi lebih menyakitkan dari sebelumnya. Ia sudah meninggalkan segala perasaan kacaunya itu di antara riuhnya ibukota. Di sebuah rumah dengan pemandangan hamparan bukit perkebunan teh, ia menyendiri dan menjauh dari keramaian. Empat bulan berlalu dengan tiap menitnya memikirkan hal-hal yang menghancurkan dirinya. Menghabiskan hari-hari dengan mabuk. Itulah yang membuat pikirannya tenang.

Di teras dengan lantai kayu, satu meja dan empat kursi yang terbuat dari kayu jati mengisi ruang kumpul keluarga dengan pemandangan yang menyejukkan itu. Di sana pula botol-botol bir berserakan. Mika menyusuri kebun teh itu sambil membawa foto dan sebotol bir. Angin bertiup sangat dingin. Sisa-sisa hujan masih terasa. Embun pagi menerka wajahnya. Mika memandang ke seluruh penjuru. Ia tak melihat petani-petani yang memetik daun teh. Akhir-akhir ini sedang turun hujan lebat.

Ia berjalan tergopoh-gopoh. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Hari ini dia tidak tidur lagi. Melihat foto itu membuat dadanya semakin sesak. Emosinya memuncak. Ada rasa sakit yang bahkan ia sendiri tak bisa mengungkapkannya. Ia berdiri di atas batu besar di antara kebun teh. Hembusan angin mengacak-acak rambutnya. Berharap angin yang berhembus membawanya melayang-layang. Bir di tangannya masih tersisa setengah botol. Ditenggaknya sampai hanya menyisakan busa-busa kekuningan.

          Praaaaannnggg!!! 

Mika memecahkan botol birnya. Ia tak tahan lagi dengan suara-suara yang mengacaukan telinganya. Bayang-bayang rasa bersalah menghantui kepalanya. Hujan turun lagi. Mika mengambil pecahan botol itu. Ia tak mengenali sosok yang ada dalam pecahan itu.

***

"Aku tak pandai mengucap kata-kata cinta. Tolong ajari aku, Theo!" 
"Mik, aku saja tak pernah tahu harus bagaimana memulai percakapan dengan wanita. Apalagi membual soal cinta. Jangan aneh-aneh lah. Hahaha!"
Mereka tertawa berdua. Percakapannya mulai melayang-layang. Keduanya sudah terlalu banyak minum. Tapi mereka lelaki yang sangat kuat. Hanya tak ada yang pandai soal cinta dan wanita.

"Kalian itu memang pecundang. Aku yang menyetir pulang. Payah!" Umpat Dita. Ia satu-satunya wanita dalam persahabatan mereka, terjalin sudah lama hingga saling menganggap semuanya keluarga. Sayangnya Dita tak sadar bahwa Mika dan Theo bersaing merebutkan hatinya. Persaingan itu tak terlihat karena mereka tidak ingin persahabatan ini hancur karena cinta. Dita terus diam sepanjang jalan. Ia membiarkan mobilnya hening tanpa suara. Mika dan Theo sudah teler. Ia menatap Theo yang duduk di sebelahnya. Betapa Dita bingung karena mencintai kedua sahabatnya. 

Ia berjanji, jika ada wanita yang berani menyakiti kedua sahabatnya. Ia tak segan-segan meluncurkan pukulan yang selama ini diajari saat latihan bela diri.

***

Suara televisi terdengar samar-samar. Mika dan Dita tidak sedang menonton. Mika membiarkannya menyala. Suara klakson kendaraan saling bersautan. Lampu-lampu jalan terlihat sedikit redup. Mungkin tertutup embun bekas hujan. Mereka berdiri di balkon apartemen, melihat riuhnya lalu lintas malam hari. 

"Mik, aku mau cerita deh sama kamu. Soal laki-laki." Tiba-tiba Dita memecahkan keheningan. Dita tak pernah bercerita soal laki-laki sebelumnya. Ini mengejutkan bagi Mika. 

"Silakan. Aku mendengarkan." 
"Sebenarnya, apa sih yang laki-laki pikirkan tentang wanita?"
"Aduh, aku justru bingung mau jawab bagaimana. Langsung intinya saja, sih." 
"Kamu pernah  jatuh cinta atau sayang sama seseorang?"
"Pernah. Dari dulu sekali malah." Mika berpikir bahwa saat seperti ini tepat untuk menyatakan perasaannya. 
"Aku juga sama. Ingin sekali rasanya aku ungkapkan, tapi aku takut." Mika menatap matanya. Ia melihat mata Dita berkaca-kaca. Perlahan menjadi tangisan kecil. Mika mendekapnya dan membiarkan bajunya basah oleh air mata Dita. 

"Aku sayang sama kalian berdua, tapi aku nggak mau persahabatan kita hancur." Tangisnya mulai tumpah. Betapa rumitnya perasaan Dita hingga tubuhnya menggigil. Ada sesak dada yang bisa Mika rasakan. Mika hanya memeluknya, berharap itu menenangkan Dita. Ia membasuh air mata Dita. Diciumnya bibir mungil itu perlahan. Mika mendorongnya masuk karena di balkon anginnya mulai kencang. Suara televisi masih memenuhi ruangan itu. Peluknya semakin erat.

***

Theo mencari-cari keberadaan Mika. Tak ada satupun yang tahu. Sebetulnya keluarganya tahu tapi menyembunyikannya. Tekadnya sudah bulat. Atas dasar cinta dan persahabatan, ia menikahkan Dita sebelum ada orang yang tahu. Theo paham betul senyum Dita tak seperti biasanya. Ia tak mau semakin memikirkannya. Sepenuh hati ia rela bertanggung jawab pada apa yang tak pernah ia perbuat. 

Sungguh Theo sangat marah. Ia ingin memukul habis-habisan wajah Mika. Hingga kemarahannya berwujud jadi benci. Benci yang teramat! Namun, Dita lah yang membuatnya luluh. Wanita itu masih yang paling kuat di antara mereka bertiga. Maka tak ada alasan bagi Theo, ia hanya ingin membuat Dita bahagia. Sebahagia wanita yang tinggal menunggu hitungan hari menuju hari paling membahagiakan bagi sepasang manusia yang saling mencinta. Theo tak sanggup melihat Dita membesarkan anaknya sendirian tanpa seorang lelaki di sampingnya. Theo ingin menjadi lelaki yang akan selalu berada di sampingnya.

Segala persiapan sudah selesai, semua undangan sudah disebar. Dita menitipkan undangan untuk Mika pada keluarganya. Berharap sahabat tercintanya itu menghadiri pernikahannya. Namun, dengan tidak ada yang tahu keberadaannya ia tak mau terlalu berharap.

Di kamar dengan cat warna abu-abu, Dita berdiri di depan cermin besar. Ia mengelus-elus perut. Sungguh ia tak tega pada Theo yang harus menggantikan Mika padahal di dalam perut Dita adalah anak dari Mika. Emosi Dita tak lagi berwujud marah yang meledak-ledak. Ia menangis, tapi tak ada lagi air mata. Entah rasanya seperti apa Dita pun tak bisa menjelaskannya. Setiap kali ia mengingat Theo dan Mika, hanya menghasilkan air mata. Terutama untuk Theo. Laki-laki itu sangat baik. Entah harus bagaimana lagi mengungkapkan kebaikan Theo, ia sangat mencintainya sekarang.

***

"Mengapa aku di sini? Bukannya ini hari pernikahan sahabat-sahabatku?" Kepala Mika masih terasa sakit, hatinya masih terasa sesak. Bagaimanapun ia harus hadir di hari bahagia sahabatnya. Ia membuang botol bir itu sembarang. Kemudian berjalan masuk dan berganti baju rapi. Ia meninggalkan rumah yang tentram itu untuk sementara waktu. Dengan kecepatan yang tidak begitu tinggi, ia melaju di antara hujan-hujan yang mulai membasahi bumi.

Tak peduli ia tidak menyaksikan ijab kabulnya, hadir dalam pernikahan mereka saja sudah membuat mereka senang. Setidaknya Mika turut bahagia. 

Sampai di tempat pernikahan Dita dan Theo, ia melihat dari kejauhan tamu-tamu yang hadir begitu banyak. Tema pernikahan outdoor memang menjadi cita-cita Dita. Ia melihat Dita mengenakan gaun putih dengan mahkota bunga di kepalanya. Theo dengan jas putih sederhana namun terlihat sangat tampan. Ia dengan segera menghampiri sahabat-sahabatnya. 

Mika memeluk kedua sahabatnya itu sambil menangis. Ia meminta maaf pada keduanya karena menghilang selama sebulan terakhir ini. 

"Selamat kepada kalian berdua! Aku minta maaf menghilang tiba-tiba. Ini hanya masa yang rumit bagiku." Ia memeluk Dita dan Theo sekali lagi. 
"Tak apa, Mika. Kau tak perlu merasa menyesal dan bersalah lagi." Ucapan Theo menyadarkannya. Ia terdiam.
"Mik, kamu seharusnya berterima kasih kepada Theo. Dia bertanggung jawab padahal ini perbuatanmu." Dita dengan nada santai dan muka yang tersenyum memukul Mika dengan perkataannya. 

Mika terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Pandangannya mulai kabur.

"Mika, kenapa ada di sini?" Suara Ayahnya terdengar bersamaan tangan yang menepuk pundak Mika. Kemudian keluarga mereka berkumpul di tengah pelaminan, terheran-heran mengapa Mika hadir. 

"Memangnya aku dilarang hadir di pernikahan sahabatku?" Mika mulai kebingungan, kepalanya terasa sakit sekali.

"Bukankah kamu sudah mati, Mika?" Suara Dita terdengar halus. Mika semakin tak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kau kan sudah mati, kamu lupa?" Theo menusuknya dengan kata-kata. 

Mika semakin tak mengerti. Suasana menjadi aneh. Kepalanya tak terasa sakit lagi. Hatinya tak merasakan apa-apa. Kemudian ia melihat Dita dan Theo menangis. Para tamu terlihat sedih. Orang tua Mika menangis dan ia masih tak tahu mengapa semua orang terlihat sedih di hari bahagia kedua sahabatnya itu

"Ia menggores urat nadi di tangannya dengan pecahan botol beling. Saya turut berduka." Kata seseorang berseragam kepada Ayah Mika.

Tuesday, August 29, 2017

Es Kopi Siang Ini

Harusnya semalam aku tidur lebih awal. Biar ketika dapat panggilan interview nggak telat melulu karena kesiangan. Yes, its me. Perang di pagi hari itu bukan melawan macet ibukota, tapi melawan air mandi yang dingin. Ahh, darahku mulai berhenti mengalir dan otakku mulai membeku sampai nggak mampu buat pakai baju. 


Berita pagi ini masih tentang penipuan berkedok agama, namun sampai sekarang belum ada gerakan umat yang berjilid-jilid untuk menuntut keadilan seperti gerakan yang dulu untuk memenjarakan si penista agama. Hmm, mungkin kasus ini tidak bermuatan politis. Entahlah, siapa aku terlalu memerhatikan keadaan bangsa.


Sekarang, orang berpakaian rapi dengan dasi berwarna ungu dan kemeja warna hitam memintaku untuk masuk ke dalam ruangannya yang memiliki pemandangan langsung ibukota. Hmm, kapan ya kira-kira punya ruangan sendiri dengan pemandangan bagus seperti itu? Mungkin nanti kalau aku melanjutkan pendidikan magister hukum dan membangun perusahaan sendiri. Nggak apa-apa, toh sebentar lagi aku pulang dan lanjut bermimpi.


Aku baru sadar kalau kantor ini dekat dengan tempat ia bekerja. Sebuah coffeeshop yang di dalamnya banyak pelanggan berdasi namun kalau bayar pakai kartu kredit dan rela mengantri ketika ada promo diskon maupun buy 1 get 1. Aku buka pesan terakhir darinya, ada kata rindu disana. Niatku menemuinya agar ia berhenti mengirimkan kata-kata rindu. Tapi kupikir itu berlebihan. Bagaimana jika aku yang rindu seseorang kemudian di paksa berhenti merindu? Meski pada kenyataannya, ia rindu kepadaku tapi tidak sepenuhnya. Ada laki-laki lain sekarang.


Interview berakhir. Tim HRD menilaiku cukup berpotensi, dan memintaku untuk datang lagi besok. Kenapa tidak membuat keputusannya langsung saja? Orang-orang sekarang nampaknya suka membuat orang lain menunggu-nunggu.


Kakiku tanpa sadar membawaku kesana. Security membukakan pintu dengan pura-pura tersenyum. Ya aku tau dia senyumnya terlihat memaksa. Teriakan greetings dari beberapa barista yang sibuk dengan kopi masing-masing. Salah satunya sedang sibuk menunggu pelanggan yang bingung dengan ingin memesan apa. Tidak kulihat ia disana, sibuk dengan mesin kopi seperti biasanya. Seorang lelaki dengan seragam khusus —kelihatannya ia manajer, tampangnya tegas dan badannya tinggi— memantau situasi siang ini. Sesekali memberikan aba-aba kepada barista agar tidak lupa tersenyum.


Ada satu pelanggan, ia orang asing, duduk sendirian, mengamati para barista meracik kopi, sesekali tersenyum ramah. Aku masih duduk, belum memesan kopi karena aku hanya ingin dia yang membuatnya. 


Dan dia keluar dari crew room, belum melihatku karena mungkin aku tidak ia kenali dengan rambut gondrongku. Aku berdiri di antrian. Cukup panjang karena hari ini sedang ada promo. Kulihat ada satu pelanggan yang komplain karena kopinya terlalu lama di buat. Kurasa ia hanya haus atau mungkin mengantuk dan ingin segera meneguk kopi.


"Caramel Machiatto, tall size." Giliranku memesan. 
"Atas nama siapa, kak?" Dia sungguh belum menyadari.
"Ehmm..." 


Ia menatapku. Senyumnya mengembang. Kulewati momen itu karena tidak ingin membuat antrian lebih panjang. Aku berpindah tempat duduk. Tempat favoritku, di meja samping barista meracik kopi. Tempat favoritku karena bisa melihat ia sibuk dengan mesin kopi yang entah aku tidak tahu apa istilahnya. Sementara itu, entah mengapa rasa es kopiku terasa lebih nikmat dari biasanya.


Monday, August 7, 2017

Cerita Dewasa Malam Minggu

Aku mulai cerita ini dari jatuh cinta pada teman kampusku. Anak rantau yang di biayai orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta. Namanya Alina. Namanya tak lebih cantik dari rupa aslinya. Tinggi tapi tidak melebihi tinggiku. Tubuhnya sexy. Tidak kurus tapi berlebihan jika dibilang gemuk. Cantik, makanya sepadan denganku yang tampan. Maaf. Satu hal lagi, mungkin jika melihat Alina pasti pikiran lelaki sudah berpikir yang tidak-tidak.


***

Lalu di lanjut dengan Alina yang mulai menyukai puisi-puisi basiku. Kemudian memintaku untuk menuliskan puisi tentangnya. 

“Sejak kapan kamu mulai iseng nulis puisi?”
“Gak tahu. Mengalir aja sih.”
“Biasanya sih kalo lelaki mulai puitis gini, tandanya habis patah hati.”
“Hahaha. Sok tahu.”

Dia memukul pundakku. Semakin jatuhlah aku dalam cinta yang kubuat-buat sendiri. 
Kemudian ada yang memberontak dalam celanaku. Betapa laptopku menjadi saksi berengseknya otak dan kelamin ini menginginkan Alina.

Hari-hari selanjutnya, kami banyak menghabiskan waktu bersama. Makan di kantin, kejar deadline tugas, dan yang lebih nekat mengantarnya pulang. Kali ini aku sedang naik motor, untungnya ada helm cadangan di bagasi motorku yang luas. Untuk pertama kalinya aku ingin berlama-lama di jalan. Tubuh Alina mendekat rapat namun tidak memeluk. Sesuatu empuk dan nyaman yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.

***

Di pusat ibukota, dia mengajakku untuk mampir ke apartementnya. Lift berbunyi ketika kami sampai di lantai 16. Dari ujung lorong, aku melihat lelaki tidak begitu tampan namun rapih menunggu di depan pintu unit kamar yang menurutku itu milik Alina.

“Eh ini kenalin pacar aku.” 

Lelaki itu menjabat tanganku. Tatapan matanya menaruh curiga kepadaku.

“Sayang, ini teman kampus aku yang selalu bantuin tugas aku.”

Aku membalas jabat tangannya dengan senyum ramah munafik. Rasanya tidak enak berada disana lebih lama lagi. Jadi, setelah mengantar sampai depan pintu, aku izin pamit. Namun otakku masih memikirkan kalau Alina dan pacarnya pasti berbuat yang tidak-tidak.

***

Beberapa hari setelahnya, Alina mulai menjaga jarak denganku. Aku tidak tanya kenapa, aku menghargai privasi dan perasaan pacarnya. Itu pasti. Tapi, perasaan ini mulai tumbuh pelan-pelan. Jadi, kuputuskan untuk membuangnya jauh-jauh.

Dua minggu berlalu. Aku duduk di taman kampus, membuka laptop lalu mulai membuka surel, melihat-melihat semua surel yang berisi tugas dari dosen. Tanpa sadar, Alina sudah duduk di sampingku. Mukanya muram, kutebak hatinya penuh gelisah. Tak kulihat senyum di bibirnya.

Aku mendengarkan curahan hatinya. Hanya mendengarkan, sesekali menggenggam tangannya. Sedetik kemudian kepalanya bersandar di bahuku. 

Sore itu aku mengantarnya pulang, kali ini aku naik mobil. Dia masih saja menikmati patah hatinya. Katanya sudah seminggu putus. Aku hanya mendengarkan, agar dia jadi tenang dan mungkin bisa sejenak melupakan. Kemudian hujan turun, dan aku lupa bahwa ini malam minggu. Pantas jalanan macet. Jadi kuajak dia untuk makan di restoran cepat saji. Sedihnya mulai pudar, senyumnya mulai mengembang perlahan.

***

Kira-kira hampir larut. Dan lantai 16 cukup tinggi untuk menikmati pemandangan kota setelah hujan. Dingin masih mengitari tubuhku. Sekarang yang kuinginkan hanya dilumat peluknya Alina.

“Kamu mau minum apa?”
“Nggak usah repot-repot, Al. Sebentar lagi aku pulang kok.”
“Kamu buru-buru pulang sih? Bisa tinggal disini satu jam lagi?”
“Okay.”
“Lagipula, di luar masih hujan deras.”

Lalu dia duduk di sampingku, sambil menonton film…entahlah. Alina menyandarkan kepalanya di bahuku. Tanpa rasa bersalah, aku merangkulnya. Kupikir tadinya ia menolak dirangkul. Sesaat ia memutar tubuhnya, wajahnya berhadapan dengan wajahku. Aku mencium aroma susu dari bibirnya. Tak berapa lama, dia melumat bibirku penuh nafsu. Beberapa detik kemudian, kami sudah bertelanjang dada. 

Aku segera mengunci pintu untuk memastikan benar-benar tak ada yang mengganggu. Dari sofa ruang tamu, aku menggendongnya lalu menjatuhkannya dengan kasar di atas kasur. Beberapa menit kemudian, kami sudah benar-benar telanjang dengan tubuh penuh keringat. Tangannya melingkar di pinggangku.

Hujan mengguyur lagi. Kali ini lebih deras disertai kilatan petir.

Sambil menciumi lehernya, aku berbisik di telinganya. 

“Aku rasa aku akan tinggal sampai pagi.” 

Kemudian dia mendorongku, dan mulai menguasai permainan.

Monday, February 10, 2014

Setelah Perpisahan Kita

Hidupku tak lagi sama setelah satu tahun menjalin hubungan denganmu, lalu kamu memutuskannya begitu saja. Aku tak tahu mengapa. Aku berusaha mencari tahu apa kesalahanku, tapi kamu bilang kalau aku tidak berbuat salah. Bahkan orang ketiga pun sama sekali bukan penyebabnya. Entahlah, aku tidak ingin mengorek luka yang kaubuat makin dalam. Hari-hariku kembali seperti dulu, sebelum aku bertemu denganmu. Abu-abu.

Setiap malam, ingatanku selalu terbawa arus menuju masa lalu. Mengingat detail setiap waktu yang kulewati bersamamu, setiap gombalan yang kaubuat, setiap kata cinta yang kaubisikkan. Pikiranku sibuk memikirkanmu, memikirkan pola makanmu, memikirkan kesehatanmu, juga memikirkan sosok yang telah menggantikanku. Entahlah, setiap aku memikirkannya, dadaku terasa sesak, hatiku terasa sakit. Klimaksnya, air mataku seringkali tak terbendung.

Sudah satu tahun setelah kepergianmu, hari-hariku masih sama. Pagi-siang-malamku masih abu-abu. Tak ada yang berbeda disini, aku masih bernafas, semuanya masih normal. Sayangnya, apa yang terlihat oleh mata tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh hati. Aku yang salah, masih bermain-main dengan masa lalu yang harusnya sudah kubuang jauh-jauh. Kenangan itu masih melekat pada sudut-sudut otak.

Memasuki tahun baru, aku berharap ada sesuatu yang baru, yang menyadarkanku dari masa lalu. Lagi, semuanya masih sama; tak ada yang baru. Padahal, aku sangat berharap ada seseorang yang memberi warna baru dilembaran hidupku, yang membuka penutup mataku, yang menyembuhkan lukaku, juga menyadarkanku. Aku masih berharap sampai saat ini.

Setelah perpisahan kita, aku berusaha mencari penggantimu. Namun tak ada lagi yang sama. Tak ada kamu, tak ada kita. Aku masih menjadi diriku dengan kenangan yang masih sangat lekat dihatiku. Lagi dan lagi, air mata ini tak terbendung. Aku jadi teringat ketika aku menangis disampingmu. Kala itu, jemarimu yang menghapus air mataku. Sekarang, aku yang menghapusnya sendiri. Kemana jemarimu saat aku membutuhkannya untuk menghapus air mataku?

Sungguh, aku ingin tersadar dari bayang-bayang masa lalu yang terlalu sering kukejar. Aku ingin melepaskan, tapi hati ini masih enggan. Kamu yang dulu kumiliki, tak lagi disini. Bahagia yang kita agung-agungkan dulu, kini hanya kenangan. Jika kita sudah dipuncak bahagia, mengapa kamu memilih perpisahan sebagai jalan?
Sekali lagi, aku masih sendiri dengan luka dan kenangan yang masih melekat. Terkadang, diam-diam aku mencari tahu tentangmu, mencari tahu siapa penggantiku yang beruntung karena memilikimu.

Aku masih berjuang melupakan sosokmu yang tak lagi terangkul pelukan. Padahal, ada banyak yang datang dan pergi. Ada yang hanya singgah, ada pula yang tinggal. Tapi, semuanya tak memberi warna baru. Tak ada yang begitu berarti. Semua hanya berotasi, berputar mengisi hati.

Aku masih berjuang melepaskanmu, mencoba menempatkan kenangan-kenangan kita ditempatnya tersendiri didalam hati, mencoba merelakan perpisahan. Dan sekarang aku mengerti, kita tak lagi bisa menyatu. Aku pun tidak ingin memaksanya. Segala sesuatu yang dipaksa akan berjalan tidak baik. Dan aku rela melepaskanmu, menerima perpisahan kita, melupakan kita, menghilangkan perasaan masih sayang ini.

Entah sudah berapa kali namamu kurangkul dalam doa, entah sudah berapa kali air mata ini tumpah, entah sudah berapa kali aku mencoba; tapi selalu gagal. Kuharap, kali ini aku berhasil, dan aku segera menemukan penggantimu.

Selamat pupus 1 tahun..
Maafkan aku yang tak mengunci bayangmu ketika beranjak pergi.
Jika kaurindukan kita yang dulu, aku pun begitu.

Monday, January 27, 2014

Mata Coklat Itu

Seharusnya aku tak melihat mata coklat itu. Seharusnya aku menghindarinya jauh-jauh. Sekarang, aku telah jatuh pada tatapannya. Mata coklat yang nampak nyala itu menghipnotisku, membuatku mematung saat mata hitamku beradu tatap. Mata coklat yang tegas itu berhasil membuatku tersipu, membuatku penasaran siapa pemiliknya. Mata coklat itu berhasil mengendalikan saraf penglihatanku, hingga mengunci arah mataku untuk terus beradu tatap dengan matanya.

Mata itu seperti sedang mencari lawan tatapnya. Sialnya, mataku terperangkap. Di bola mataku yang hitam, terlihat jelas arah pandangnya ke mata coklat itu. Seperti terkunci, arah pandangku terjebak disana, terjebak dikilatan matanya yang coklat bersinar. Tidak bisa kemana-mana. Kurasa, aku semakin jatuh kedalam mata coklat itu.

Sekarang, aku sudah tahu siapa pemilik mata coklat itu. Tinggi tak semana, hidung tak terlalu mancung, rambut coklat pirang yang jatuh secara ikal, dan mataku seperti melihat surga. Mata coklat itu masih menjadi topiknya. Ia telah membuatku jatuh cukup dalam sekarang.

Saat mata hitamku tak menemukannya dalam pandangan, ia akan berusaha menemukannya. Saat mata hitamku menemukannya dalam pandangan, ia akan berusaha menjaga pandangannya itu. Kurasa, mata coklat itu punya sejurus hipnotis sampai mata hitamku tak mau melepaskan pandangan. Dan mata hitamku menikmati saat-saat itu.

Kurasa, bukan mata hitamku saja yang melongo, pun hatiku. Saat bertemu si pemilik mata coklat itu, ada getaran aneh yang menerka hatiku. Aku tak hanya jatuh pada mata coklat itu, tapi juga kepada si pemilik mata coklat itu. 
Iya, kamu.

Dari pria bermata hitam
Yang jatuh cinta
pada mata coklat dan pemiliknya.

Bisa kaubalas surat ini?

Membunuh Hati Yang Sudah Mati

Jatuh cinta kepada seseorang bisa membuatmu berubah. Itu bagus jika ia membuatmu jadi orang yang lebih baik. Bagaimana jika sebalikny...