Jakarta, siang hari seperti ‘Neraka Bocor’. Aku
diajak kerumah kekasihku, Fadli. Ia ingin mengenalkan aku ke orang tuanya.
Cukup bahagia. Wajahku memerah menyembunyikan senyum malu bercampur senang. Dan
berbagai perasaan senang lainnya yg sulit dideskripsikan. Aku berpikir, apakah
ini terlalu cepat ataukah memang sewajarnya ? Padahal, hubunganku dg Fadli baru
sebatas ‘pacar’ tapi sikap Fadli cukup dewasa. Gentle sekali dia. Inilah kotaku dan kota fadli. Dimana sejarah
mencatat cerita suka dan duka hubunganku, Jakarta. Kota yg sepertinya
berkonspirasi dg waktu dan keadaan karena setiap aku sedang bersamanya, kota
ini menjebakku dg teriknya matahari, asap kendaraan dan kemacetan. Keterlaluan.
Aku suka tinggal di ibukota selain ini adalah tempat kelahiranku karena
disela-sela polusi dan macet, aku menemukan cinta. Satu kata yg membuatku
terdampar dalam perasaan yg selalu bercampur bahagia.
Siang itu, aku dijemput kekasihku. Terik. Untung
saja aku menggunakan sweeter dan Fadli juga. Rasanya, panas ini menjadikan semua yg
dekat menjadi jauh dan menjauhkan yg dekat jadi jauh. Aku yg
mengenakan sweeter saja masih kepanasan apalagi mereka yg menggunakan baju
lengan pendek. Tanpa kusadari, ternyata
sudah sampai dirumah Fadli. Buru-buru aku mencari tempat untuk menghindari
terik matahari. Fadli hanya sibuk memarkirkan motornya. Digenggam tanganku lalu
dituntunnya masuk kerumahnya. Wajahku masih memerah. Tak sama sekali aku
berpikir negative tentang sikapnya sekarang. Fadli mengajakku masuk kerumahnya.
“ Mamah kamu kemana, yang ? “
“ Sebentar ya… “
Fadli mengunci pintu rumahnya dan mematikan lampu
seluruh ruangan dirumahnya. Aku mulai merasa tidak enak.
“ Kok pintunya dikunci sih ? “
Fadli tak menjawab pertanyaanku. Aku yg sedari masuk
duduk disofa merasakan hal yg ganjil. Apa yg sedang dilakukan kekasihku ini ?
Katanya ingin mengenalkan aku ke orang tuanya, tapi… Fadli langsung duduk
disampingku, tangannya menggelayuti tubuhku. Aku hanya diam mematung. Aku
seperti diculik oleh kekasih sendiri. Aku hanya menuruti perkatannya. Seperti
ada setan yg berbisik untuk berbuat negative. Semua ruangan gelap. Aku mulai
merasakan sakit. Rasa sakit yg belum pernah aku rasakan. Sakit sekali.
***
Aku diantarnya pulang. Aku tidak sempat berpikir
sampai situ. Mataku hanya melihat-lihat jalanan yg mulai padat. Aku berpikir
apakah setiap ibukota dinegara-negara lain sama seperti ibukota dinegaraku ?
Tepat. Rambutku bau asap, badanku bau keringat. Sempurna. Sesampainya dirumah,
aku baru sadar. Aku baru memikirkan yg telah kulakukan tadi bersama Fadli. Aku
bodoh sekali. Aku menyesal. Kenapa aku baru sadar sekarang ? Aku menangis dg
muka ditutupi bantal. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Waktu tidak bisa
kembali ataupun terulang. Aku menyesal sekali. Aku telah kehilangan
kehormatanku. Aku bingung siapa aku sekarang ? Yang bisa kulakukan hanya
memohon dan menyesali semuanya. Esoknya, Fadli seperti menjauh dariku. Aku
mulai khawatir. Fadli seperti jenuh denganku. Orang yg aku cintai menghilang
perlahan. Aku berusaha mencarinya. Aku terus berdoa agar ia tidak
meninggalkanku.
Semua berlalu. Benar-benar berlalu dan tak ada hari kemarin. Sunyi. Aku hanya bercerita ke salah satu teman SMP ku dulu.
Ia menghinaku, menasehatiku, memarahiku. Apakah sebesar ini salahku ? Apa kata
orang tuaku nanti jika tahu tentang ini semua ? Kini, yg tau hanya teman SMPku
dan Tuhan. Suatu sore, ketika aku terjebak macet didepan suatu gedung rakyat, aku melihat Fadli. Mataku jelas menangkap bayangnya. Tapi apakah yg
dilihat mata benar-benar nyata ? Fadli berboncengan dg wanita lain. Aku hanya
memandanginya dan menangis kecil. Belahan jiwaku pergi dg belahan jiwa lain.
Rasanya hatiku sakit sekali. Sesak. Aku benar-benar sedih. Orang yg telah
mengambil tubuhku, kini tubuhnya bersama orang lain. Lengkaplah sudah kota ini.
Kini, tidak hanya macet dan polusi, tapi sudah ada kesedihanku disana.
Berbulan-bulan aku memendang luka ini. Aku tidak
dendam kepadanya. Berbulan-bulan aku lewati dg luka yg masih menganga lebar.
Sempurna. Siapa yg mau menerimaku dg keadaan seperti ini dikota Metropolitan ?
Aku pesimis. Aku mulai trauma akan hal cinta. Aku membenci hal-hal yg
berhubungan dg cinta. Mungkin aku bisa melupakan Fadli tetapi aku tidak bisa
melupakan kejadian itu. Aku mengubur luka ini dalam-dalam. Kini, aku hanya asik
dg duniaku sendiri, Twitter. Perlahan tapi pasti, aku melupakan peristiwa itu. Dreeett dreeett dreeett. Blackberryku bergetar menerima pesan
singkat. Aku buka, tidak ada namanya dikontakku. Aku makin penasaran...
Bersambung... Terima Kasih //
No comments:
Post a Comment